Translate

Kamis, 10 Oktober 2013

Lutung Leutik

Laporan Penelitian
(Lutung Leutik Dalam Kaca Mata Sosiologi ) 

Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Antara
Mata kuliah Teori Sastra


Oleh :
Liska Puri
180210120011


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR-SUMEDANG

IDENTIFIKASI KARYA

Penulis memilih karya yang berjudul  Lutung Leutik, sebagai objek material penelitiannya. Lutung Leutik adalah sastra lisan yang berkembang di daerah Kuningan.  Awalnya berupa sebuah cerita pantun. Cerita pantun adalah cerita yang diceritakan oleh juru pantun.  Yang membedakannya tentu saja dari segi struktur dan pembawaannya. Kemudian ditulis menjadi sebuah buku oleh Ki Umbara.
Lutung Leutik karya Ki Umbara ini diterbitkan oleh Kiblat, yang bertempat di Jl. Citamiang No. 33 Bandung. Buku dengan jumlah halaman 71 ini, pertama kali diterbitkan di bulan Juni tahun 2002. Buku yang digarap oleh penulis ini merupakan cetakan keduanya, yang dicetak pada bulan Februari tahun 2008.
         





SINOPSIS
         
          Lutung Leutik menceritakan tentang kisah percintaan antara Ratu Bungsu Karma Jaya dan Ratu Emas Bagandan Sari. Ratu Bungsu Karma Jaya adalah anak dari Nawang Wulan, seorang Ratu di Pakuan, para bangsawan dari Padjadjaran.  Sedangkan Ratu Emas Bagandan Sari adalah gadis cantik asal Padukuhan Cihanjuang Saganyonggong, adik dari ponggawa gagah, Tumenggung Laksana Gading. Kisah mereka dalam cerita ini dimulai ketika Ratu Bungsu Karma Jaya meminta ijin pada ibunya untuk mengembara ke negara di tataran Timur untuk mencari negara yang makmur dan calon istri.
            Dilain cerita Ratu Emas Bagandan Sari yang sudah merasa cukup untuk menikah, meminta kepada kakaknya untuk dicarikan suami. Kakaknya, Tumengggung Laksana Gading menyarankan pada Ratu Emas untuk bersabar dan memperbaanyak shaum. Lalu Ratu Emas Bagandan Sari dititipkan kepada saudara-saudara mereka (Gajah Taruna Jaya, Gagak Kalana Jaya, dan Ratu Emas Malanggi Rarang) di negara Margacina, karena kakaknya akan pergi bertapa agar dia cepat menikah.
            Ratu Emas Maranggi Rarang bermimpi, dan menceritakan mimpinya pada Gajah Taruna Jaya. Arti mimpinya adalah, akan ada seorang Ratu tampan dari Pakuan ke negara Margacina, tapi Bagandan Sarilah yang akan ditikahinya. Maranggi Rarang cemas dan merasa takut, akhirnya Bagandan Sari diasingkan ke hulu dayeuh (Ujung wilayah). Tak puas dengan hanya diasingkan, Maranggi Rarang juga menyuruhnya untuk memakai baju yang jelek dan mandi dengan air campuran terasi mentah hingga tubuhnya sangat hitam dan bau.
            Tibalah Ratu Bungsu Karma Jaya di negara Margacina, Léngsér yang sudah menunggu di alun-alun sesuai perintah Maranggi Rarang, langsung menanyakan identitas dan niatannya datang ke Margacina. Lamarannya diterima Maranggi Rarang, tapi dengan beberapa syarat. Syarat yang pertama perhiasan dari intan, yang kedua dangdanan sapangadeg (mungkin kosmetik), yang ketiga sebuah negara baru yang indah dengan istananya yang mewah, dan syarat yang ke empat ingin dibuatkan parigian. Diantara seluruh syarat, syarat yang terakhirlah yang dirasa paling sulit dan memakan waktu yang lama. Setelah berbulan-bulan, barulah Maringgi Rarang menengok Karma Jaya. Ketika dia melihat Karma Jaya, Maranggi Rarang langsung membatalkan lamaran dan menyerahkannya untuk Bagandan Sari. Karena bukan pangeran tampan yang dia temui, tapi laki-laki berkulit hitam dengan penampilan yang lusuh.
            Berbeda dengan Maranggi rarang, Bagandan Sari dengan senang hati menerima keadaan Karma Jaya. Menikahlah mereka. Lalu mereka berdua mandi dan kembali seperti semula, malah lebih. Mereka kembali ke kota di negara Margacina. Semua masyarakat antusias melihat mereka, sampai Léngsér dan Maranggi Rarangpun tidak mengenali mereka. Maranggi Rarang yang mengetahui keadaan Karma Jaya yang sekarang, merasa iri dan ingin memilikinya kembali. Gajah Taruna Jaya yang mengetahui keinginan adiknya itu, marah dan menganiayanya. Akhirnya Gagak Kalana Jaya menjodohkan Maranggi Rarang dengan Dipati Indra Jaya asal Nusa Kambangan. Namun keadaan suaminya tidak membuatnya puas. Dia selalu ingin menyaingi Bagandan Sari dari berbagai hal, dengan taruhan kematian dan Ratu Bungsu, tapi Maranggi Rarang yang selalu kalah. Sampai akhirnya dia mencoba untuk membunuh Bagandan Sari saat Karma Jaya bertapa. Karma Jaya yang tahu langsung melemparnya ke Margacina.
            Dipati Indra Jaya marah dan memerangi Karma Jaya, Karma Jaya kalah dan ditumbalkan untuk menjadi santapan Raja Siluman. Bagandan Sari dihukum menjadi penggembala hewan ternak Maranggi Rarang. Ratu Bungsu yang berada didalam perut Raja Siluman berhasil keluar. Lalu menitis menjadi sebuah daun sirih, dan dibuang ke danau Kabuyutan[1] di Gunung Karanginang.
            Di Gunung Karanginang diceritakan ada Yudajaya Yudanagara, kedua adiknya Giringsingwayang dan Rinduwayangan. Giringsingwayang menemukan cupu manik di danau Kabuyutan. Saat dibuka, isinya daun sirih kuning. Lalu Giringsingwayang hamil. Kakaknya marah, dan menuduhnya berbuat yang tidak senonoh. Giringsingwayang lebih kaget, dia masih perawan dan hanya memakan rujak daun sirih kuning yang ia temukan. Tapi kakaknya tidak percaya dan mengusirnya. Sunan Ambu dari kahyangan memerintahkan bawahannya untuk membantu persalinan Giringsingwayang. Lebih kagetnya lagi dia, karena yang keluar bukan bayi, tapi seorang monyet kecil (Lutung Leutik), dan lansung bisa berbicara. Pergilah Lutung Leutik dan ibunya ke Yudajaya Yudanagara. Mereka berdua langsung diterima kembali, karena Yudajaya menyesal telah mengusir adiknya. Meskipun sempat menolak anaknya karena monyet, tapi karna dia dewa, jadi diterima.
            Singkat cerita Lutung Leutik melamar Bagandan Sari, Maringgi Rarang dengan senang hati menerima lamarannya dengan maksud picik untuk menyengsarakan Bagandan Sari. Jauh dari yang dibayangkan, Bagandan Sari dengan senang hati menerima lamaran Lutung Leutik. Menikahlah mereka dengan pesta yang besar. Lutung Leutik sengaja memporak-porandakan hewan ternak Maringgi. Indra Jaya marah dan memerangi Lutung Leutik. Indra Jaya kalah, dia dan istrinya kemudian dijadikan bawahan. Lutung Leutik menjelma menjadi Ratu Bungsu Karma Jaya dan menjadi raja di negara Margacina, dan beberapa tahun kemudian berdirilah Pakuan Kalangan.










DESKRIPSI KARYA                                                              DARI BEBERAPA RUJUKAN

Lutung Leutik adalah salah satu sastra lisan yang berkembang di daerah Kuningan. Lutung Leutik karya Ki Umbara ini pertama kali diterbitkan Kiblat pada tahun 2002, cetakan keduanya pada 2008. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Bagandan Sari, Karma Jaya, dan Maranggi rarang.             Bertemakan kisah cinta dan ambisi untuk memiliki hingga akhirnya membawa petaka.
Buku ini merupakan cerita pantun yang ditransformasikan dalam bentuk tulisan (klasik). Sehingga sangat wajar jika dalam pengantarnya, Ayip Rosidi menyatakan cerita Lutung Leutik ini sama dengan lakon pantun Ratu Bunsu Karma Jaya yang telah dipublikasikan oleh R.S Wirananggapati berdasarkan juru pantun Ki Taswan. Cerita pantun adalah cerita yang berukuran panjang dan bernilai sastra,  lahir dan berkembang secara lisan. Disampaikan oleh juru pantun dan diiringi kecapi. Sastra lisan ini mulai dikenal pada masa kerajaan Padjadjaran dan Galuh.[2]
            Lutung Leutik karya Ki Umbara ini memiliki banyak kesamaan dengan cerita pantun R.S Wirananggapati. Jika dibandingkan, dari hurup awal cerita dimulai sampai akhir ditutup menggunakan kata-kata yang sama. Meskipun ada beberapa adegan yang tidak dituliskan oleh Ki Umbara dalam bukunya. Misalnya adegan Maranggi Rarang yang selalu mengajak Bagandan Sari untuk berlomba dengan taruhan kematian dan Karma Jaya. Selain dari segi cerita yang dipotong, perbedaan lainnya yaitu dari segi pembabakan. Ki Umbara mengklasifikasikan karyanya dalam tujuh babak. Sedangkan R.S Wirananggapati membuat 17 babak dalam cerita pantunnya. Selain itu, R.S Wirananggapati tidak menyebutkan Margacina dalam karyanya, R. Satjadibrata menggantinya dengan Margacinta. Dengan alasan pada saat cerita ini berkembang belum ada sentuhan Tionghoa, serta beliau juga pernah mendengar negara yang bernama Margacinta dalam cerita pantun yang lain. ‘Raja Setan’ diganti dengan ‘Raja Siluman’, beliau beragumen karena istilah setan dikenal setelah datangnya pengaruh Islam. sedangkan pada masa cerita ini mulai dikenal, Islam belum datang ketataran Padjadjaran.[3]
             Dalam studi perpusnya, penulis menemukan skripsi yang menggarap Lutung Leutik karya Ki Umbara, dengan judul ‘KEPRIBADIAN TOKOH RATU EMAS MALANGGI RARANG DALAM CERITA LUTUNG LEUTIK KARYA KI UMBARA’. Skripsi ini dibuat oleh Erna Widiana pada tahun 2011, sebagai tugas akhir dalam menempuh gelar sarjana program studi Sastra Sunda, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) di Universitas Padjadjaran.
Dalam skripsi ini Erna Widiani (ER) menjadikan kepribadian Maranggi Rarang sebagai fokus penelitiannya. Penulis menganggap ini merupakan fokus yang sangat tepat, karena sangat terlihat jelas Maranggi Rarang (MR) sangat mendominasi isi cerita. Selain itu penulis menganggap tokoh MR sebagai kunci konflik dari cerita ini.
ER menggunakan metode struktural dengan menitik beratkan pada unsur-unsur intrinsik dalam cerita LL. Sedangkan untuk membedah kepribadiannya digunakan metode psikologi sastra. Psikologi sastra adalah model penelitian interdisipliner dengan menetapkan karya sasatra sebagai posisi yang paling dominana. Kajiannya, simbol-simbol, wawasan, pelambangan, yang bersifat universal yang mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi moral, budaya, dll (Semi, 1996:78). Tujuan psikologi satra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Kajian yang digunakan ER adalah kajian psikologi Abraham Maslow (Erna Widiana, 2011 : 4).
Dalam skripsinya ER menutup dengan anggapan, bahwa dari semua perilaku yang ditunjukannya, dapat dikatan kepribadian MR, ‘Abnormal’. Keabnormalannya bertumpu pada kondisi MR yang berperilaku tidak sesuai dengan norma yang berlaku pada kemasyarakatan, serta menunjukkan kepribadian yang tidak matak dalam sejumlah kondisi. Seperti, tidak menerima kekalahan, tidak memerdulikan atau menjaga perasaan orang lain dan tidak mempertimbangkan resiko’ (Erna Widiana, 2011: 59).
Dapat kita analisis, keabnormalan MR mulai terlihat ketika dia mengetahui arti mimpinya. Dalam penelitiannya ER juga menyebutkan hal yang sama.[4] Misalnnya, ambisinya yang berlebihan untuk mendapatkan Karma Jaya dengan menghalalkan segala cara. Dari kaca psikologis MR sudah termasuk kedalam kategori penyimpangan. Hal yang sama akan terlihat, dalam kaca sosiologi. Karena perilaku yang ditunjukan oleh MR tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
















PANDANGAN PENULIS
           
            Lutung Leutik, lahir dalam tradisi sastra lisan. Karya ini memuat isi yang merekam fenomena-fenomena sosial pada zamannya.   Karya sastra ini penting untuk diteliti sesuai dengan potensi teks yang membuat gambaran secara langsung atau tidak langsung menyangkut kategori klasik (sastra lisan yang dibukukan).
Untuk memaparkan fenomena-fenomena pada zaman yang terekam dalam karya, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang menekankan pada masalah karyanya. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra tersebut, menjadi pokok penelaahan atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.
(Wellek dan Warren, 1990: 122) Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya[5]. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
Hal ini yang menjadi salah satu dasar alasan penulis mengkaji karya ini. Penulis sangat tertarik untuk mengungkapkan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang ada pada saat karya ini lahir, berdasarkan isi karya yang merujuk pada hal-hal tersebut. Beberapa fenomena teks yang dapat penulis tangkap :
Kecantikan adalah hal yang relatif, sesuai dengan opini dan konvensi yang berkembang dalam masyarakat. Dalam Lutung Leutik ini, terdapat gambaran bagaimana pengertian ‘cantik’ pada waktu lahirnya karya ini. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut :
Nyaturkeun urang Padukuhan Cihanjuang Sagayonggong, katelah ponggawa gagah, Tumenggung Laksana Gading. Kagungan sadérék istri jenengan Ratu Emas Bagndan Sari. Masih parawan meujeuhna, geulisna punjul lingga papak.
Pameunteu seureuh salambar
Waosna gula gumantung
Halisna bulan tumanggal
Biwirna ngabiwir kunci
Gado ngajeruk sapasi
Taktakna naraju matang
Leungeunna laleu lens kacang sapapan
Keupatna gondéwa mentang
.............
 (LL, 2008: 12-13)

Pada saat karya ini lahir, masih terdapat kelas sosial, bangsawan dan rakyat biasa.  Terlihat ketika Ratu Bungsu memperkenalkan dirinya, dia menyebutkan bahwa dia adalah keturunan menak dari Padjadjaran. Kemudian terlihat adanya upaya untuk mempertahankan kelas tersebut. Seperti ketika Ratu Bungsu meminta pertolongan kepada Sunan Ambu untuk memenuhi syarat Maranggi Rarang. Ratu Bungsu mengatakan jika dia tidak bisa memenuhi syarat, namanya sebagai Ratu dan keturunan menak, akan tercoreng. Kemudian, yang menjadi alasan Ratu Bungsu pergi ke negara Maranggi Rarang, karena ‘Margacina terkenal dengan wanita cantik kerurunan ningrat[6] (ER halaman 23)
            Ketika adanya prosesi lamaran, sang calon perempuan atau dari pihak perempuan, sudak mengenal syarat untuk  diajukan  kepada calon suaminya sebagai bukti kesanggupan. Hal ini yang dilakukan Maranggi Rarang pada Bagandan Sari. Dia meminta ali-ali, negara baru yang lengkap dengan istana mewah, dll.
Dalam pembahasan sebelumnya, R. Satjadibrata mengganti ‘Raja Setan’ dengan ‘Raja Siluman’, beliau beragumen karena istilah setan dikenal setelah datangnya pengaruh Islam. sedangkan pada masa cerita ini mulai dikenal, Islam belum datang ketataran Padjadjaran. Dalam teks, penulis menemukan :
“Ngan Nyai kudu prihatin. Geura ngadamel kalakuan: ulah sok saré teuing keur tunduh, ulah sok dahar keur hayang. Puasa kudu lakonan, upadi nyénén kemis[7]. Ngalalab sumawonna, mutih pon pilalagi” (LL, 2008: 14)

Pada masa karya ini lahir, masyarakatnya sudah mengenal kepercayaan, khusunya pada hal-hal meta fisik. Seperti pada Sunan Ambu, dewa, dan lain-lain.
            Sistem pencaharian yang ada pada saat lahirnya karya ini adalah petani, mengembala, pegawai kerajaan, pembantu dan sebagainya.[8]
            Berdasarkan uraian di atas, dapat tergambar bagaimana keadaan sosial yang ada pada saat karya ini lahir, hal-hal yang penulis uraikan berdasarkan isi buku Lutung Leutik karya Ki Umbara.


DAFTAR PUSTAKA

Danadibrata, R.A. 2009. Kamus Basa Sunda. Bandung : Kiblat.
Umbara. 2008. Lutung Leutik . Bandung : Kiblat.
Widiana, Erna. 2011. Kapribadian Tokoh Ratu Emas Maranggi Rarang dalam Cerita Lutung Leutik Karya Ki Umbara. Bandung : Fakultas Sastra Unpad.
Wirananggapati, R.S. 1958. Ratu Bungsu Karma Djaja. Jakarta : Dana Guru.


Sumber lainnya :


[1] Kabuyutan, benda atau tempat yang dianggap keramat atau sakral
[2] pada masa itu masyarakaat mulai mengenal cerita dan dongeng dalam bentuk lisan. Hingga  sekarang keberadaan sastra lisan ini masih berkembang, meski  sedikit yang mengetahuinya.
[3]  R. Satjadibrata dalam cerita pantu Ratu Bungsu Karma Djaja oleh R.S Wirananggapati
[4] Berawal dari mimpinya, hingga berefek pada tingkah laku, sikap, dan cara berpikirnya.
[5] Dasar penggunaan teori mimetik
[6] Ningrat, kelas sosial
[7]    Puasa Senin-Kamis, adalah puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW, dan anjuran untuk shaum terutama Senin-Kamis datang setelah Islam menjadi agama yang diamanahkan kepada Beliau.
[8]   Ti dinya Nyi Putri ngadeukeutan ka Indra Jaya, “Duh Mas Kabeureuh, sukur teuing bungah teuing ieu nu geulis Ratu Tarondol, kadungkapan ku Mas Kabeureuh. Di dieu mah da tukang tani” (LL, 2008: 53)
“Nya sukur tuang kuring mun dipitaros. Paréntahna Ratu Torondol, Nyi Mas kudu ngangon munding salawé pakandangan. Nyi Mas kudu nganggo samping waring baju waring. Amun aya munding anu kuru, amun aya munding anu leungit, hukumanana ditilas adegan” (LL, 2008: 61)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar