Laporan Penelitian
(Lutung Leutik Dalam Kaca Mata Sosiologi )
Dibuat untuk
memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Antara
Mata
kuliah Teori Sastra
Oleh :
Liska Puri
180210120011
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR-SUMEDANG
IDENTIFIKASI KARYA
Penulis memilih karya yang berjudul Lutung Leutik, sebagai objek material
penelitiannya. Lutung Leutik adalah sastra lisan yang berkembang di daerah
Kuningan. Awalnya berupa sebuah cerita
pantun. Cerita pantun adalah cerita yang diceritakan oleh juru pantun. Yang membedakannya tentu saja dari segi
struktur dan pembawaannya. Kemudian ditulis menjadi sebuah buku oleh Ki Umbara.
Lutung Leutik karya Ki Umbara ini diterbitkan oleh Kiblat, yang
bertempat di Jl. Citamiang No. 33 Bandung. Buku dengan jumlah halaman 71 ini,
pertama kali diterbitkan di bulan Juni tahun 2002. Buku yang digarap oleh
penulis ini merupakan cetakan keduanya, yang dicetak pada bulan Februari tahun 2008.
SINOPSIS
Lutung Leutik menceritakan tentang kisah percintaan antara Ratu
Bungsu Karma Jaya dan Ratu Emas Bagandan Sari. Ratu Bungsu Karma Jaya adalah
anak dari Nawang Wulan, seorang Ratu di Pakuan, para bangsawan dari
Padjadjaran. Sedangkan Ratu Emas
Bagandan Sari adalah gadis cantik asal Padukuhan Cihanjuang Saganyonggong, adik
dari ponggawa gagah, Tumenggung Laksana Gading. Kisah mereka dalam cerita ini
dimulai ketika Ratu Bungsu Karma Jaya meminta ijin pada ibunya untuk mengembara
ke negara di tataran Timur untuk mencari negara yang makmur dan calon istri.
Dilain cerita Ratu
Emas Bagandan Sari yang sudah merasa cukup untuk menikah, meminta kepada
kakaknya untuk dicarikan suami. Kakaknya, Tumengggung Laksana Gading
menyarankan pada Ratu Emas untuk bersabar dan memperbaanyak shaum. Lalu Ratu
Emas Bagandan Sari dititipkan kepada saudara-saudara mereka (Gajah Taruna Jaya,
Gagak Kalana Jaya, dan Ratu Emas Malanggi Rarang) di negara Margacina, karena
kakaknya akan pergi bertapa agar dia cepat menikah.
Ratu Emas Maranggi
Rarang bermimpi, dan menceritakan mimpinya pada Gajah Taruna Jaya. Arti
mimpinya adalah, akan ada seorang Ratu tampan dari Pakuan ke negara Margacina,
tapi Bagandan Sarilah yang akan ditikahinya. Maranggi Rarang cemas dan merasa
takut, akhirnya Bagandan Sari diasingkan ke hulu dayeuh (Ujung wilayah).
Tak puas dengan hanya diasingkan, Maranggi Rarang juga menyuruhnya untuk
memakai baju yang jelek dan mandi dengan air campuran terasi mentah hingga
tubuhnya sangat hitam dan bau.
Tibalah Ratu
Bungsu Karma Jaya di negara Margacina, Léngsér yang sudah menunggu di alun-alun
sesuai perintah Maranggi Rarang, langsung menanyakan identitas dan niatannya
datang ke Margacina. Lamarannya diterima Maranggi Rarang, tapi dengan beberapa
syarat. Syarat yang pertama perhiasan dari intan, yang kedua dangdanan
sapangadeg (mungkin kosmetik), yang ketiga sebuah negara baru yang indah
dengan istananya yang mewah, dan syarat yang ke empat ingin dibuatkan parigian.
Diantara seluruh syarat, syarat yang terakhirlah yang dirasa paling sulit dan
memakan waktu yang lama. Setelah berbulan-bulan, barulah Maringgi Rarang
menengok Karma Jaya. Ketika dia melihat Karma Jaya, Maranggi Rarang langsung
membatalkan lamaran dan menyerahkannya untuk Bagandan Sari. Karena bukan
pangeran tampan yang dia temui, tapi laki-laki berkulit hitam dengan penampilan
yang lusuh.
Berbeda dengan
Maranggi rarang, Bagandan Sari dengan senang hati menerima keadaan Karma Jaya.
Menikahlah mereka. Lalu mereka berdua mandi dan kembali seperti semula, malah
lebih. Mereka kembali ke kota di negara Margacina. Semua masyarakat antusias
melihat mereka, sampai Léngsér dan Maranggi Rarangpun tidak mengenali
mereka. Maranggi Rarang yang mengetahui keadaan Karma Jaya yang sekarang, merasa
iri dan ingin memilikinya kembali. Gajah Taruna Jaya yang mengetahui keinginan
adiknya itu, marah dan menganiayanya. Akhirnya Gagak Kalana Jaya menjodohkan
Maranggi Rarang dengan Dipati Indra Jaya asal Nusa Kambangan. Namun keadaan
suaminya tidak membuatnya puas. Dia selalu ingin menyaingi Bagandan Sari dari
berbagai hal, dengan taruhan kematian dan Ratu Bungsu, tapi Maranggi Rarang
yang selalu kalah. Sampai akhirnya dia mencoba untuk membunuh Bagandan Sari
saat Karma Jaya bertapa. Karma Jaya yang tahu langsung melemparnya ke
Margacina.
Dipati Indra Jaya
marah dan memerangi Karma Jaya, Karma Jaya kalah dan ditumbalkan untuk menjadi
santapan Raja Siluman. Bagandan Sari dihukum menjadi penggembala hewan ternak
Maranggi Rarang. Ratu Bungsu yang berada didalam perut Raja Siluman berhasil
keluar. Lalu menitis menjadi sebuah daun sirih, dan dibuang ke danau
Kabuyutan[1]
di Gunung Karanginang.
Di Gunung
Karanginang diceritakan ada Yudajaya Yudanagara, kedua adiknya Giringsingwayang
dan Rinduwayangan. Giringsingwayang menemukan cupu manik di danau Kabuyutan.
Saat dibuka, isinya daun sirih kuning. Lalu Giringsingwayang hamil.
Kakaknya marah, dan menuduhnya berbuat yang tidak senonoh. Giringsingwayang
lebih kaget, dia masih perawan dan hanya memakan rujak daun sirih kuning yang
ia temukan. Tapi kakaknya tidak percaya dan mengusirnya. Sunan Ambu dari
kahyangan memerintahkan bawahannya untuk membantu persalinan Giringsingwayang.
Lebih kagetnya lagi dia, karena yang keluar bukan bayi, tapi seorang monyet
kecil (Lutung Leutik), dan lansung bisa berbicara. Pergilah Lutung
Leutik dan ibunya ke Yudajaya Yudanagara. Mereka berdua langsung diterima
kembali, karena Yudajaya menyesal telah mengusir adiknya. Meskipun sempat
menolak anaknya karena monyet, tapi karna dia dewa, jadi diterima.
Singkat cerita
Lutung Leutik melamar Bagandan Sari, Maringgi Rarang dengan senang hati
menerima lamarannya dengan maksud picik untuk menyengsarakan Bagandan Sari.
Jauh dari yang dibayangkan, Bagandan Sari dengan senang hati menerima lamaran
Lutung Leutik. Menikahlah mereka dengan pesta yang besar. Lutung Leutik sengaja
memporak-porandakan hewan ternak Maringgi. Indra Jaya marah dan memerangi
Lutung Leutik. Indra Jaya kalah, dia dan istrinya kemudian dijadikan bawahan.
Lutung Leutik menjelma menjadi Ratu Bungsu Karma Jaya dan menjadi raja di
negara Margacina, dan beberapa tahun kemudian berdirilah Pakuan Kalangan.
DESKRIPSI KARYA
DARI BEBERAPA RUJUKAN
Lutung Leutik
adalah salah satu sastra lisan yang berkembang di daerah Kuningan. Lutung
Leutik karya Ki Umbara ini pertama kali diterbitkan Kiblat pada tahun 2002,
cetakan keduanya pada 2008. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Bagandan Sari,
Karma Jaya, dan Maranggi rarang. Bertemakan
kisah cinta dan ambisi untuk memiliki hingga akhirnya membawa petaka.
Buku ini merupakan
cerita pantun yang ditransformasikan dalam bentuk tulisan (klasik). Sehingga
sangat wajar jika dalam pengantarnya, Ayip Rosidi menyatakan cerita Lutung
Leutik ini sama dengan lakon pantun Ratu Bunsu Karma Jaya yang telah
dipublikasikan oleh R.S Wirananggapati berdasarkan juru pantun Ki Taswan. Cerita
pantun adalah cerita yang berukuran panjang dan bernilai sastra, lahir dan berkembang secara lisan.
Disampaikan oleh juru pantun dan diiringi kecapi. Sastra lisan ini mulai
dikenal pada masa kerajaan Padjadjaran dan Galuh.[2]
Lutung Leutik
karya Ki Umbara ini memiliki banyak kesamaan dengan cerita pantun R.S
Wirananggapati. Jika dibandingkan, dari hurup awal cerita dimulai sampai akhir
ditutup menggunakan kata-kata yang sama. Meskipun ada beberapa adegan yang
tidak dituliskan oleh Ki Umbara dalam bukunya. Misalnya adegan Maranggi Rarang
yang selalu mengajak Bagandan Sari untuk berlomba dengan taruhan kematian dan
Karma Jaya. Selain dari segi cerita yang dipotong, perbedaan lainnya yaitu dari
segi pembabakan. Ki Umbara mengklasifikasikan karyanya dalam tujuh babak.
Sedangkan R.S Wirananggapati membuat 17 babak dalam cerita pantunnya. Selain
itu, R.S Wirananggapati tidak menyebutkan Margacina dalam karyanya, R.
Satjadibrata menggantinya dengan Margacinta. Dengan alasan pada saat cerita ini
berkembang belum ada sentuhan Tionghoa, serta beliau juga pernah mendengar
negara yang bernama Margacinta dalam cerita pantun yang lain. ‘Raja Setan’
diganti dengan ‘Raja Siluman’, beliau beragumen karena istilah setan dikenal
setelah datangnya pengaruh Islam. sedangkan pada masa cerita ini mulai dikenal,
Islam belum datang ketataran Padjadjaran.[3]
Dalam studi perpusnya, penulis menemukan
skripsi yang menggarap Lutung Leutik karya Ki Umbara, dengan judul ‘KEPRIBADIAN
TOKOH RATU EMAS MALANGGI RARANG DALAM CERITA LUTUNG LEUTIK KARYA KI UMBARA’.
Skripsi ini dibuat oleh Erna Widiana pada tahun 2011, sebagai tugas akhir dalam
menempuh gelar sarjana program studi Sastra Sunda, Fakultas Sastra (sekarang
Fakultas Ilmu Budaya) di Universitas Padjadjaran.
Dalam skripsi ini Erna Widiani (ER) menjadikan kepribadian Maranggi
Rarang sebagai fokus penelitiannya. Penulis menganggap ini merupakan fokus yang
sangat tepat, karena sangat terlihat jelas Maranggi Rarang (MR) sangat
mendominasi isi cerita. Selain itu penulis menganggap tokoh MR sebagai kunci
konflik dari cerita ini.
ER menggunakan metode struktural dengan menitik beratkan pada
unsur-unsur intrinsik dalam cerita LL. Sedangkan untuk membedah kepribadiannya
digunakan metode psikologi sastra. Psikologi sastra adalah model penelitian
interdisipliner dengan menetapkan karya sasatra sebagai posisi yang paling
dominana. Kajiannya, simbol-simbol, wawasan, pelambangan, yang bersifat
universal yang mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi moral,
budaya, dll (Semi, 1996:78). Tujuan psikologi satra adalah memahami aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Kajian yang digunakan ER adalah
kajian psikologi Abraham Maslow (Erna Widiana, 2011 : 4).
Dalam skripsinya ER menutup dengan anggapan, bahwa dari semua
perilaku yang ditunjukannya, dapat dikatan kepribadian MR, ‘Abnormal’.
Keabnormalannya bertumpu pada kondisi MR yang berperilaku tidak sesuai dengan
norma yang berlaku pada kemasyarakatan, serta menunjukkan kepribadian yang
tidak matak dalam sejumlah kondisi. Seperti, tidak menerima kekalahan, tidak
memerdulikan atau menjaga perasaan orang lain dan tidak mempertimbangkan
resiko’ (Erna Widiana, 2011: 59).
Dapat kita analisis, keabnormalan MR mulai terlihat ketika dia
mengetahui arti mimpinya. Dalam penelitiannya ER juga menyebutkan hal yang
sama.[4]
Misalnnya, ambisinya yang berlebihan untuk mendapatkan Karma Jaya dengan menghalalkan
segala cara. Dari kaca psikologis MR sudah termasuk kedalam kategori penyimpangan.
Hal yang sama akan terlihat, dalam kaca sosiologi. Karena perilaku yang
ditunjukan oleh MR tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat.
PANDANGAN PENULIS
Lutung Leutik,
lahir dalam tradisi sastra lisan. Karya ini memuat isi yang merekam
fenomena-fenomena sosial pada zamannya. Karya sastra ini penting untuk diteliti sesuai dengan potensi teks
yang membuat gambaran secara langsung atau tidak langsung menyangkut kategori
klasik (sastra lisan yang dibukukan).
Untuk memaparkan fenomena-fenomena pada zaman yang terekam dalam
karya, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang menekankan pada
masalah karyanya. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra
tersebut, menjadi pokok penelaahan atau apa yang tersirat dalam karya sastra
dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini
mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.
(Wellek dan Warren, 1990: 122) Beranggapan dengan berdasarkan pada
penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra
mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya[5].
Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku
sumber sejarah peradaban.
Hal ini yang menjadi salah satu dasar alasan penulis mengkaji karya
ini. Penulis sangat tertarik untuk mengungkapkan bagaimana aspek-aspek
kehidupan yang ada pada saat karya ini lahir, berdasarkan isi karya yang
merujuk pada hal-hal tersebut. Beberapa fenomena teks yang dapat penulis tangkap :
Kecantikan
adalah hal yang relatif, sesuai dengan opini dan konvensi yang berkembang dalam
masyarakat. Dalam Lutung Leutik ini, terdapat gambaran bagaimana pengertian
‘cantik’ pada waktu lahirnya karya ini. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut
:
Nyaturkeun urang Padukuhan Cihanjuang Sagayonggong,
katelah ponggawa gagah, Tumenggung Laksana Gading. Kagungan sadérék istri
jenengan Ratu Emas Bagndan Sari. Masih parawan meujeuhna, geulisna punjul
lingga papak.
Pameunteu seureuh salambar
Waosna gula gumantung
Halisna bulan tumanggal
Biwirna ngabiwir kunci
Gado ngajeruk sapasi
Taktakna naraju matang
Leungeunna laleu lens kacang sapapan
Keupatna gondéwa mentang
.............
(LL, 2008:
12-13)
Pada saat karya ini lahir, masih terdapat kelas
sosial, bangsawan dan rakyat biasa.
Terlihat ketika Ratu Bungsu memperkenalkan dirinya, dia menyebutkan
bahwa dia adalah keturunan menak dari Padjadjaran. Kemudian terlihat adanya
upaya untuk mempertahankan kelas tersebut. Seperti ketika Ratu Bungsu meminta
pertolongan kepada Sunan Ambu untuk memenuhi syarat Maranggi Rarang. Ratu
Bungsu mengatakan jika dia tidak bisa memenuhi syarat, namanya sebagai Ratu dan
keturunan menak, akan tercoreng. Kemudian, yang menjadi alasan Ratu Bungsu
pergi ke negara Maranggi Rarang, karena ‘Margacina
terkenal dengan wanita cantik kerurunan ningrat’[6]
(ER halaman 23)
Ketika
adanya prosesi lamaran, sang calon perempuan atau dari pihak perempuan, sudak
mengenal syarat untuk diajukan kepada calon suaminya sebagai bukti
kesanggupan. Hal ini yang dilakukan Maranggi Rarang pada Bagandan Sari. Dia
meminta ali-ali, negara baru yang lengkap dengan istana mewah, dll.
Dalam pembahasan sebelumnya, R. Satjadibrata mengganti ‘Raja Setan’
dengan ‘Raja Siluman’, beliau beragumen karena istilah setan dikenal setelah
datangnya pengaruh Islam. sedangkan pada masa cerita ini mulai dikenal, Islam
belum datang ketataran Padjadjaran. Dalam teks, penulis menemukan :
“Ngan Nyai kudu
prihatin. Geura ngadamel kalakuan: ulah sok saré teuing keur tunduh, ulah sok
dahar keur hayang. Puasa kudu lakonan, upadi nyénén kemis[7].
Ngalalab sumawonna, mutih pon pilalagi” (LL, 2008: 14)
Pada masa karya ini lahir,
masyarakatnya sudah mengenal kepercayaan, khusunya pada hal-hal meta fisik.
Seperti pada Sunan Ambu, dewa, dan lain-lain.
Sistem
pencaharian yang ada pada saat lahirnya karya ini adalah petani, mengembala,
pegawai kerajaan, pembantu dan sebagainya.[8]
Berdasarkan
uraian di atas, dapat tergambar bagaimana keadaan sosial yang ada pada saat
karya ini lahir, hal-hal yang penulis uraikan berdasarkan isi buku Lutung
Leutik karya Ki Umbara.
DAFTAR PUSTAKA
Danadibrata, R.A. 2009. Kamus Basa Sunda. Bandung : Kiblat.
Umbara. 2008. Lutung Leutik . Bandung : Kiblat.
Widiana, Erna. 2011. Kapribadian Tokoh Ratu Emas Maranggi Rarang
dalam Cerita Lutung Leutik Karya Ki Umbara. Bandung : Fakultas Sastra
Unpad.
Wirananggapati, R.S. 1958. Ratu Bungsu Karma Djaja. Jakarta
: Dana Guru.
Sumber lainnya :
[1]
Kabuyutan, benda atau tempat yang dianggap keramat atau sakral
[2]
pada masa itu masyarakaat mulai mengenal
cerita dan dongeng dalam bentuk lisan. Hingga sekarang keberadaan sastra lisan ini masih
berkembang, meski sedikit yang
mengetahuinya.
[3] R. Satjadibrata dalam cerita pantu Ratu
Bungsu Karma Djaja oleh R.S Wirananggapati
[4] Berawal
dari mimpinya, hingga berefek pada tingkah laku, sikap, dan cara berpikirnya.
[5] Dasar
penggunaan teori mimetik
[6] Ningrat,
kelas sosial
[7] Puasa Senin-Kamis, adalah puasa sunnah yang
dianjurkan Nabi Muhammad SAW, dan anjuran untuk shaum terutama Senin-Kamis
datang setelah Islam menjadi agama yang diamanahkan kepada Beliau.
[8] Ti dinya Nyi Putri ngadeukeutan ka Indra Jaya, “Duh
Mas Kabeureuh, sukur teuing bungah teuing ieu nu geulis Ratu Tarondol,
kadungkapan ku Mas Kabeureuh. Di dieu mah da tukang tani” (LL, 2008: 53)
“Nya sukur tuang kuring mun dipitaros. Paréntahna Ratu
Torondol, Nyi Mas kudu ngangon munding salawé pakandangan. Nyi Mas kudu nganggo
samping waring baju waring. Amun aya munding anu kuru, amun aya munding anu
leungit, hukumanana ditilas adegan” (LL, 2008: 61)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar