SI KABAYAN KARYA M.O KOESMAN
untuk
memenuhi tugas Mata kuliah Sosiologi Sastra, Dosen
: Asep Yusup Hudayat, M.A
disusun oleh :
Liska Puri
180210120011
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR-SUMEDANG
SI KABAYAN
Penulis memilih ‘Si Kabyan’ karya
M.O Koesman ini sebagai material penelitian dalam Sosilogi Sastra. Buku ini
diterbitkan oleh Kiblat pertama kali pada
bulan Mei 2013.
Hipotesis : Nilai Moral
1.
Kabayan dalam Lingkungan Sosialnya
Kabayan
adalah tokoh urang Sunda yang sudah banyak dikenal, khusunya di
kalalangan masyarakat Sunda. Entah benar atau tidaknya tokoh Kabayan ini, bagi
saya Kabayan adalah tokoh yang hidup, hidup dalam cerita lisan di masyarakat,
dalam buku-buku cerita tentangnya, dan dalam ingatan mereka yang menyukai
sosoknya.
Buku
cerita karya M.O Koesman ini adalah buku cerita pertama tentang Kabayan yang
pernah saya baca. Minim memang pengetahuan saya tentang sosok Kabayan ini.
Kabayan menjadi hidup, ketika dia masuk dalam lingkungan sosial pada karya, dan
dia hidup.
Kabayan
adalah suami dari Nyi Iteung. Sosok yang sangat suka tidur dan sangat suka
dengan dunia mimpinya. Kabayan dikenal
oleh tetangganya sebagai orang yang bodoh, karena selalu berbicara apa adanya,
tidak suka basa-basi dan polos. Dia juga sangat cerdik, dalam memanfaatkan
keadaan.
Sosoknya
menggambarkan sifat manusia yang ingin selalu dipuji dan mempunyai nama dalam
masyarakat. Contohnya saja tergambar pada bagian cerita “Moro Uncal”,
disaat warga yang lain berburu, dia malah sibuk main-main. Kancil yang
dikejar-kejar warga berlari ke arah Kabayan, Kabayan yang ketakutan naik ke
pohon, kain sarungnya menutup kepala si kancil, akhirnya kancil itu berhasil
ditangkap. Warga yang tahu hal ini sangat memuji Kabayan, ketika ditanyakan
bagaimana caranya, dia menjawab bahwa dia sengaja naik untuk menangkap kancil
tersebut.
Dia
juga sering bersikap jail, contohnya saat menakuti mertuanya dengan
berpura-pura menjadi hantu, agar dia diperlakukan baik oleh mertuanya. Meskipun
ulahnya kadang konyol, Kabayan sosok yang sangat peka terhadap lingkungannya.
Contohnya pada saat tetangganya mengadakan pesta pernikahan, tapi dia tidak di
undang. Dia tidak lantas diam dan menggerutu, tapi dia melakukan hal-hal
konyol, dengan bertelanjang dada dan mengukur seberapa jauh rumahnya dengan
rumah tetangganya. Orang-orang yang melihatnya merasa aneh, Kabayan berhenti
setelah dia diundang secara langsung oleh tetangganya.
2.
Nilai-nilai yang tersirat dalam cerita
Ditengah semua kisah konyol yang dilakukan Kabayan tersirat
nilai-nilai moral yang kadang terlupakan. Nilai-nilai yang terkandung dalam
cerita ini, mungkin sepele, tapi begitu sangat masuk akal, karena mungkin
penyampaiannya yang sederhana dan dengan gaya hiburan. Semuanya terjawab ketika
pertanyaan-pertanyaan aneh muncul dalam pikiran saya.
“Apa yang akan kita lakukan ketika melihat
sebuah nangka hanyut di sungai dan melewat di depanmu?”
Kabayan mencari
nangkannya yang hanyut ke sungai. Ketika dia bertanya ternyata ada seseorang
yang membawa nangkanya. Ketika dia menghampiri rumah tetangganya itu, dia
sangat kaget, ada seekor kambing yang tengah memakan cangkang buah nangka,
karena tidak ada orang di rumah itu, lalu dia membawa kambing itu ke rumahnya.
Muncul satu pertanyaan lagi.
(“Apa kalian memikirkan hal yang sama? sikap Kabayan ini aneh”
Hehe). Tak lama kemudian tetangganya datang untuk menanyakan kemana kambingnya.
Hal yang sangat membuat saya tertegun, dengan polosnya dia menjawab
“Bah
Asik, nangka kuring nyasab ka imah bapa. Tadi téh dititah balik ti heula, tapi
pohoeun jalan ka imah. Nya méngkol ka imah Abah. Ku Abah lain dituduhkeun ka
mana jalann ka imah kuring kalah ka di recah.”
.........
“Teuing
embé Abah teuing nu saha, tadi téh aya embé asup ka pakarangan imah. Kawasn mah
pohoeun jalan. Ah, teu loba omong, direcah wé ku kuring téh. Lumayan keur
deungeun sangu”[1]
“Pernahkah
kalian melawan pada yang berkuasa?”
Kabayan melawan
pada yang berkuasa agar dia bisa makan. Ketika seluruh warga dikerahkan untuk
mencari ikan sebanyak-banyaknya di kali untuk mereka yang berkuasa, dan warga
yang mencari ikan hanya berhak memakan ikan kecil. Dia bertindak dengan
pura-pura keracunan. Akhirnya mereka semua pergi karena takut mereka yang
berkuasa keracunan, dan meninggalkan semua ikan. Singkat cerita Kabayan dan
keluarganya dapat makan dengan megah.
“Ketika kita menanam sesuatu di
kebun milik orang lain, Apakah itu
milik kita? Ketika
ada sesuatu yang tumbuh di kebun kita, dan berbuah lebat. Apakah itu
milik kita?”
Kabayan begitu
jujur, dia menjual hasilnya dengan murah, bahkan ketika ada yang bertanya
berapa harganya, dia menjawab :
“Kuring mah teu ngahargakeun. Sabaraha gé moal burung teu ditarima.
Najan teu dibayar gé, pék teuing. Da lain nangka pelak kuring. Jadi ku
sorangan, ngan kabeneran ayana di kebon kuring. Nu melakna mah teuing careuh
teuing manuk”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar